1. Berperan Sebagai Teladan
Pola asuh yang dilakukan orang tua banyak mempengaruhi kehidupan anak. Ada tiga kategori pola asuh yang biasa diterapkan orang tua dalam mendidik anak, yaitu :
a. Pola asuh otoriter, adalah pola asuh yang kaku dalam menerapkan aturan dan hukuman, serta dibatasinya kebebasan anak untuk bertindak atas nama diri sendiri. Sehingga cenderung memaksakan disiplin karena segala sesuatu harus dilakukan sesuai perintah dari orang tua. Semakin otoriter pendidikan anak, semakin mendendam dan semakin besar kemungkinan untuk melawan maupun tidak patuh secara sengaja.
b. Pola asuh demokratis, adalah pola asuh yang menghargai anak dan memberikan kebebasan yang cukup pada anak. Berdasarkan berbagai pendapat dan penelitian, diketahui bahwa pola asuh demokratis akan menjadikan anak lebih berprestasi (Roswita, 2000). Penelitian Steinberg, dkk (1994) membuktikan bahwa pola asuh demokratis menunjukkan dampak yang lebih baik bagi perkembangan anak.
c. Pola asuh permisif cenderung memberi kebebasan kepada anak untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya (Baumrind, 1991). Pola asuh permisif akan menghasilkan anak-anak yang tidak berprestasi, berandal, dan cenderung menunjukkan perilaku vandalistik. Seperti yang diungkap oleh Maslow (Goble, 1994) dalam penelitiannya bahwa anak-anak di Amerika yang diperlakukan secara permisif oleh orang tuanya ternyata melakukan tindakan vandalistik-agresif yang lebih kentara dari pada anak-anak Meksiko yang sejak awal diarahkan oleh orang tua tentang baik-buruk serta salah-benar.
Meskipun masih diperlukan penelitian lebih lanjut apakah pola asuh demokratis paling besar pengaruhnya terhadap kesuksesan masa depan anak, namun saat ini pola asuh demokratis dianggap paling relevan untuk mendidik anak era milenial. Anak-anak ini bukanlah anak-anak yang mudah untuk ditakut-takuti namun juga tidak bisa dibiarkan tanpa pengawasan. Sehingga sistem tarik ulur, diskusi, reward dan punishment yang ada dalam pengasuhan demokratis merupakan cara yang sesuai untuk digunakan orang tua dalam mendidik anak, terutama ketika anak-anak sudah masuk dalam masa remaja.
2. Berperan Sebagai Teladan
Teladan adalah bagian terpenting dalam proses mendidik anak, terutama pada usia balita. Zakiah Daradjat (Nashori, 1992) menyampaikan bahwa perilaku yang ditampilkan orang tua akan dijadikan rujukan oleh anak. Apabila orang tua jujur, mandiri, dan bahagia, maka hal tersebut akan membentuk anak menjadi pribadi yang jujur, mandiri, dan bahagia pula. Peneladanan kepada orang tua disebabkan karena waktu yang dihabiskan anak bersama orang tua lebih besar porsinya. Selain itu karena visualisasi dapat menghasilkan kesan yang mudah di ingat lebih lama. Sehingga yang nampak di depan mata anak akan lebih banyak memiliki pengaruh dalam kehidupan anak selanjutnya.
3. Berperan Sebagai Pembimbing
Bimbingan berarti bantuan yang diberikan kepada anak dengan tujuan agar mampu mengembangkan diri secara optimal dengan jalan memahami lingkungan dan mengatasi hambatan guna menentukan rencana masa depan yang lebih baik. Orang tua memiliki peran strategis dalam membimbing anak. Ketika peran ini di ambil maka suasana hidup keluarga yang nyaman, pendampingan ke arah kemajuan, saling memberi perhatian, dan tersedianya fasilitas yang diperlukan akan terwujud. Dalam konteks ini orang tua memandang anak sebagai pribadi yang mampu berbuat segalanya sesuai dengan tanggung jawab, lingkup hidup, dan kemampuan anak.
4. Membantu Memecahkan Masalah
Orang tua memiliki peran untuk menunjukkan cara menyikapi masalah dan menyodorkan teknik pemecahan masalah yang akan di ingat oleh anak seumur hidupnya. Kemudian anak akan melihat masalah, menganalisa, dan belajar menemukan solusi terlepas dari berhasil atau tidak. Rangkaian tindakan ini akan membuat anak belajar dan mencobanya lagi jika belum berhasil. Di dalam proses inilah orang tua membantu anak mengatasi kelemahan dan memanfaatkan kemampuan anak berdasarkan pengalaman. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mendorong anak untuk membaca buku atau melihat film-film yang berisi masalah dan penyelesaiannya. Sehingga ketika anak menemui permasalahan serupa dalam kehidupan sesungguhnya, anak sudah dapat memprediksi tindakan yang sebaiknya di ambil.
5. Menerima, Menghargai, dan Meminimalkan Hukuman Fisik
Orang tua yang selalu menuntut anak untuk selalu patuh membuat perasaan anak cenderung tidak bahagia, akan tetapi bila orang tua mau menghargai dan menerima anak seutuhnya menyebabkan perasaan anak lebih bahagia dan dihargai. Penghargaan akan menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri, sehingga berkembang pula konsep diri yang positif. Perasaan di terima dan di hargai ternyata mampu membangkitkan semangat berkarya dan menumbuhkembangkan potensi luar biasa pada diri anak. Selain itu, pengurangan hukuman juga efektif mengurangi tindakan buruk. Hukuman yang efektif bukanlah hukuman fisik tanpa penjelasan. Hukuman yang efektif adalah hukuman yang berisi tuntutan moral yang bersifat tegas dan disampaikan dengan tegas pula dalam situasi yang tepat. Pemberian hukuman psikologis dibanding hukuman fisik yang disertai penjelasan dan alasan dibalik hukuman tersebut terbukti lebih baik.
6. Menghindari Diskriminasi Gender
Dalam mendidik anak, perempuan dan laki-laki di beri kesempatan sepadan untuk tumbuh dan berkembang. Termasuk di dalamnya untuk menerima kasih sayang dan pendidikan yang layak. Sama-sama di beri kesempatan untuk mengakses kemajuan, berbagi tugas sehari-hari di rumah dengan adil, dan beraktivitas dengan bahagia. Tentu saja cara ini dilakukan dengan tidak mengabaikan pendidikan tentang peran dasar sesuai gender berdasarkan tuntutan moral.
Silahkan berkonsultasi dengan kami di sini untuk pemahaman cara yang dapat digunakan orang tua dalam mendidik anak.